Snippet

PENGEMBANGAN NILAI DAN MORAL MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF PADA ANAK TK

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ada setumpuk harapan yang disandarkan kepada pendidikan. Orang tua selalu berharap, mampukah pendidikan mencetak generasi yang memiliki nilai moral yang kuat. Sebuah keinginan yang boleh jadi terdengar berlebihan, mengingat untuk membentuk nilai dan moral merupakan suatu pekerjaan yang tidaklah mudah. Banyak kalangan yang menilai bahwa pendidikan nasional dianggap gagal dalam membentuk nilai moral anak bangsa. Sekolah-sekolah belum seluruhnya berhasil melahirkan anak-anak yang berbudi pekerti yang luhur.
Tidak ada salahnya jika nilai dan moral tersebut dibentuk dan dibina sejak usia dini. Dalam UU No. 23 Tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujukan untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14).
Apabila usia dini tidak dimanfaatkan dengan menerapkan pendidikan dan penanaman nilai serta sikap yang baik tentunya kelak ketika ia dewasa nilai-nilai moral yang berkembang juga nilai-nilai moral yang kurang baik. Oleh karena itu pendidikan anak usia dini adalah investasi yang sangat mahal harganya bagi keluarga dan juga bangsa. Salah satu bentuk usaha untuk mengembangkan nilai dan moral anak yang akan dibahas yakni melalui pembelajaran kooperatif.

B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana perkembangan nilai dan moral pada anak TK?
b.      Bagaimana pengembangan nilai dan moral melalui pembelajaran kooperatif pada anak TK?


BAB II
PEMBAHASAN

a.       Perkembangan  nilai dan moral pada anak TK
Nilai (value) dan moral merupakan wujud dari ranah afektif serta berada dalam diri seseorang. Secara utuh dan bulat nilai merupakan suatu sistem dimana aneka jenis nilai (nilai keagamaan, sosial budaya, ekonomi, hukum, etika, dan lain-lain) berpadu menjadi satu kesatuan serta saling meradiasi (mempengaruhi secara kuat) sebagai suatu kesatuan yang utuh (Yudha S, 2005 : 175).
Berbicara mengenai nilai dan moral, orang sering melihat dari dua sisi yang berbeda, yakni baik dan buruk. Dalam konteks pendidikan nilai menjadi sebuah refleksi dari nilai-nilai masyarakat yang mengajari nilai-nilai tersebut bagi peserta didik. Artinya pendidikan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan nilai-nilai positif yang terefleksikan dalam pola kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pada usia Taman Kanak-kanak anak telah memiliki pola moral yang harus dilihat dan dipelajari dalam rangka pengembangan moralitasnya. Orientasi moral diidentifikasikan dengan moral position atau ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh cognitive motivation aspects dan affective motivation aspects.
Menurut John Dewey tahapan perkembangan moral seseorang akan melewati 3 fase, yaitu premoral, conventional dan autonomous. Anak Taman Kanak-kanak secara teori berada pada fase pertama dan kedua. Oleh sebab itu, guru diharapkan memperhatikan kedua karakteristik tahapan perkembangan moral tersebut. Sedangkan menurut Piaget, seorang manusia dalam perkembangan moralnya melalui tahapan heteronomous dan autonomous.
            Nilai dan moral perlu ditanamkan pada anak sejak dini, karena anak usia dini dipandang sebagai individu yang baru mulai mengenal dunia. Ia belum mengetahui tata krama, sopan santun, aturan, norma, etika, dan berbagai hal lain yang terkait dengan kehidupan duniawi. Usia dini merupakan masa bagi seorang anak untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain serta memahaminya. Oleh karena itu seorang anak perlu dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang kehidupan dunia dan segala isinya. Selain itu, TK sebagai suatu insitusi formal dalam melakukan pendidikan untuk anak usia dini juga bertujuan membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik atau motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar.
Perkembangan moral dan etika pada diri anak Taman Kanak-kanak dapat diarahkan pada pengenalan kehidupan pribadi anak dalam kaitannya dengan orang lain. Misalnya, mengenalkan dan menghargai perbedaan di lingkungan tempat anak hidup, mengenalkan peran gender dengan orang lain, serta mengembangkan kesadaran anak akan hak dan tanggung jawabnya.
Puncak yang diharapkan dari tujuan pengembangan moral anak Taman Kanak-kanak adalah adanya keterampilan afektif anak itu sendiri, yaitu keterampilan utama untuk merespon orang lain dan pengalaman-pengalaman barunya, serta memunculkan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan teman disekitarnya.
Faktor-faktor yang mampengaruhi perkembangan nilai dan moral anak TK:
Lingkungan sangat dominan dalam menentukan perkembangan nilai dan moral dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya. Anak dapat belajar untuk mengenal nilai-nilai dan moral sesuai dengan nilai dan moral yang diyakinnya. Menurut Yusuf (2004) dalam Yudha Saputra (2005 : 178) bahwa beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan nilai dan moral anak TK, diantaranya sebagai berikut :
1.      Konsisten dalam mendidik anak, artinya orang tua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak.
2.      Sikap orang tua dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan nilai dan moral anak, yaitu melalui proses peniruan. Sikap orang tua yang keras atau otoriter cenderung melahirkan sikap disiplin. Sedangkan sikap acuh tak acuh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab.
3.      Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut orang tua merupakan panutan atau teladan bagi anak.  Orang tua yang menciptakan iklim yang agamis, dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak.
4.      Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma artinya orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perbuatan bohong.
Dalam menanamkan nilai moral pada anak harus dilakukan beberapa pendekatan. Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) dalam (Sri Purwanto, www.sman1prambanan.sch.id/karyatulis_artikel) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
a.       Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah banyak menuai kritik dari para pakar pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini masih dapat digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa. Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
b.      Klarifikasi Nilai
Alam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu moral.Pertanyaan yang muncul, apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk anak TK? Ternyata jawabannya dapat, karena anak TK yang berumur 6 tahun berada dalam masa transisi ke arah perkembangan moral yang lebih tinggi, sehingga mereka perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan keterampilan bertindak secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya (Dwi Siswoyo (2005:76).
c.       Teladan atau Contoh
Anak TK mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih dahulu pada gurunya. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral yang ideal adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi.Dalam pendekatan ini profil ideal guru menduduki tempat yang sentral dalam pendidikan moral. Banyak para ahli yang berpendapat dalam hal ini, diantaranya Durkheim, John Wilson dan Kohlberg. Durkheim, misalnya ia berpendapat bahwa belajar adalah satu proses sosial yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya (Dwi Siswoyo, 2005:76). Sementara, Kohlberg berpendapat bahwa tugas utama guru adalah memberi kontribusi terhadap proses perkembangan moral anak. Tugas guru disini adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir, mempertimbangkan dan mengambil keputusan.
d.       Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang berlaku di TK terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.

b.      Pengembangan nilai dan moral melalui pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif sebagai salah satu metode dapat digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk melahirkan anak didik yang lebih berakhlak. Penanaman nilai dan moral sejak usia dini harus diupayakan melalui berbagai upaya guru, sehingga saat memasuki usia remaja dan dewasa nilai dan moral sudah melekat dalam dirinya menjadi sebuah kebiasaan.
Pembelajaran kooperatif benyak digunakan pada pembelajaran anak usia dini karena dianggap sesuai untuk melatih sosial dan kemampuan bekerja sama. Hal tersebut sesuai dengan pendapat John Dewey, ahli filsafat dan pendidikan dari Amerika Serikat (1859-1952) percaya bahwa pembelajaran terpadu (holistic dan integrative) mampu membuahkan hasil yang optimal. Interaksi sosial mampu mendorong tumbuhnya minat dan semangat belajar untuk meraih ilmu dan keterampilan (cooperative learning).
Oleh karena itu, kehidupan yang cenderung individualis perlu di antisipasi dengan mengasah rasa tanggung jawab bersama dan menumbuhkan empati sosial. Untuk itu pola cooperative learning (belajar bekerja sama) diterapkan.
Pembelajaran kooperatif merupakan upaya metodologis atau media pengajaran yang mengangkat kerja kelompok ke dalam konteks kelas. Simulasi pembelajaran nilai dan moral yang mendekati keadaan yang sebenarnya melalui keadaan yang serupa namun lebih sederhana. Melalui pembelajaran kooperatif ini anak TK diajak memasuki dunia kerja kelompok dengan suasana yang diharapkan dan secara tidak langsung perilakunya dibina dan dikembangkan oleh guru.
Menurut Thompson, et al. (1995), Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 orang siswa, dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Kegunaan lain dari pembelajaran kooperatif ini bagi anak TK, yakni :
a)      Untuk memotivasi anak akan sesuatu,
b)      Untuk melibatkan siswa dalam KBM/PMB melalui suasana kerja kelompok,
c)      Memberi kesempatan untuk penerapan pengetahuan dan perbendaharaan dirinya,
d)     Melatih mempertajam segala potensi indra dan afeksinya,
e)      Melatih kerjasama antar potensi diri dan dengan sesama,
f)       Untuk menciptakan suasana yang sekaligus menanamkan misi nilai,
g)      Sebagai media yang sekaligus menanamkan misi nilai.
Johnson (1997) dalam Slamet Suyanto, (2005 : 149) menerangkan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa belajar kooperatif akan mendorong siswa belajar lebih banyak materi pelajaran, merasa lebih nyaman dan termotivasi untuk belajar, memiliki kemampuan yang baik untuk berpikir secara kritis, memiliki sikap positif terhadap objek studi, menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam aktivitas kerja sama, memiliki aspek psikologis yang lebih sehat, dan mampu menerima perbedaan yang ada diantara teman satu kelompok
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kooperatif ini dapat dilakukan guru pada pembukaan pembelajaran atau saat kegiatan inti pembelajaran, atau di akhir kegiatan belajar. Pembelajaran kooperatif ini sangat fleksibel dapat sebagai bahan pengayaan serta pemantapan pengembangan anak TK.
Kunci pelaksanaan pembelajaran kooperatif ini berada pada guru TK itu sendiri. Khususnya kemantapan kejelasan guru akan target nilai harapannya. Kemahiran meragamkan berbagai teknik pembelajaran kooperatif akan sangat menentukan keberhasilan dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif tidak memerlukan alat dan biaya yang besar, sebab alat untuk pembelajaran ini dapat menyesuaikan dengan kondisi setempat. Yang paling penting yakni adanya kemauan atau kreativitas guru dan anak untuk bersama-sama melangsungkan kegiatan belajar mengajarnya. Berikut beberapa teknik yang dapat digunakan guru dalam menerapkan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan kemampuan moral dan nilai anak TK :

Teknik Keliling Kelas dalam Meningkatkan Nilai dan Moral
Keterampilan yang diharapkan
Teknik dan Prosedur
Nilai dan Moral :
1.    Anak dapat berdoa
2.    Anak dapat mengenal ibadah secara sederhana
Teknik Keliling Kelas :
·         Guru membagi anak dalam tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari tiga anak dan memberi mereka nomor 1, 2, dan 3.
·         Semua anak di masing-masing kelompok melakukan kegiatan berdoa dan mengenal ibadah secara sederhana.
·         Setelah semua kegiatan selesai, masing-masing kelompok memamerkan hasil kerja mereka. Hasil dari kemampuan berdoa adalah setiap kelompok membaca doa yang sudah guru tentukan serta memperagakan tata cara pelaksanaan ibadah sholat.
·         Masing-masing kelompok berjalan keliling kelas dan mengamati apa yang dibacakan dan dilakukan oleh kelompok-kelompok lain.

Alur teknik pembelajaran keliling kelas dalam pembelajaran kooperatif :




Leave a Reply